BALI

BALI
My HomeTown

Kamis, 17 Agustus 2017

Agustus 17, 2017 - No comments

■■ KISAH WUKU WATUGUNUNG ■■

○○ Rahajeng Rahina Saraswati ○○


Mitos Watugunung sendiri mengisahkan tentang cinta terlarang antara seorang putra, Sang Watugunung, dengan ibunya, Sinta. Setelah campur tangan Dewata, hubungan aib ini diputus dengan diciptakannya kalender (wuku). Dengan Saraswati sebagai pemisah antara wuku terakhir (Watugunung) dengan wuku awal (Sinta).

Diceritakan pada masa kecilnya Watugunung adalah seorang anak yang nakal. Karena bandel, suatu hari kepala Watugunung kecil terluka oleh amarah ibunya. Ia lalu pergi menghilang dan bertapa hingga pada akhirnya mendapat kesaktian.
Muncul angkara murkanya terhadap wanita, raja-raja, dan akhirnya ibunya yang lalu dikawininya. Ibunya sendiri yaitu Dewi Sinta tidak tahu bahwa itu adalah anaknya sendiri yaitu Watugunung, hingga pada suatu ketika Dewi Sinta mencari kutu di kepala suaminya itu. Ia melihat parut luka itu dan teringat akan anaknya, itu adalah anaknya yaitu Watugunung. Menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya yaitu telah bersenggama dengan anaknya, ia ingin berpisah dan mengakhiri semua ini dengan mengakali Watugunung supaya ia melamar istri Batara Wisnu. Batara Wisnu murka dan menganggap itu sebagai sebuah kelancangan. Meletuslah perang dahsyat antara Watugunung dan Batara Wisnu. Pada saat itu Watugunung kalah oleh Batara Wisnu yang bertriwikrama (menguasai tiga dunia).

Pada saat peperangan itu Watugunung dicampakkan ke tanah tepat pada hari Minggu, Redite-Kliwon—disebut Watugunung Runtuh. Dan ia dibunuh pada hari Senin, Soma-Umanis—disebut Sandang Watang, yaitu hari “pembuangan layon”. Lalu, ia diseret di tanah pada hari Selasa, Anggara Paing, disebut Paid-paidan (seret). 

Kemudian, pada hari Rabu Buda Pon—disebut Buda Urip (Rabu Hidup), dia dihidupkan kembali pada hari Kamis , Wrespati Wage (Patetegan) oleh Batara Wraspati. Setelah itu dia dibunuh sekali lagi oleh Batara Wisnu, sebelum akhirnya Batara Siwa menghidupkannya pada hari Sukra Kliwon (Pangradanan). Melihat Batara Wisnu sekali lagi akan membunuhnya, Batara Siwa pun bersabda, “ Oh, Batara Wisnu, jangan bunuh lagi sang Watugunung, bila kau membunuhnya, hilanglah ajaran bagi generasi mendatang, alangkah lebih baik jika dia diberikan kehidupan yang kekal.”

Batara Wisnu menjawab, “Ingin saya bunuh Watugunung oleh karena dosanya yang mahabesar. Dia telah mencoba mengawini wanita yang sudah bersuami, dia juga telah bersanggama dengan ibunya dan ibu tirinya, kesalahan ini terlalu besar bagi dunia manusia.”. Maka Batara Siwa bersabda, “Mulai sekarang ini, pantanglah manusia mengawini wanita yang sudah bersuami, apalagi ibu dan ibu tirinya”. Lalu dia menambahkan, ”Tanpa membunuhnya, kita dapat  menghukumnya dengan cara lain, oleh karena dosanya memang besar.”

Lalu Batara Wisnu berujar, “Hai, Watugunung, setiap enam bulan kau akan mengalami masa leteh/kotor.” Kemudian disahut oleh Watugunung, “Hukuman ini hamba terima, Oh, Batara.” Batara Siwa lalu menghidupkan kembali raja-raja Wuku serta para Panca Resi—korban peperangan. Pada hari Saniscara Umanis turunlah para dewata untuk membersihkan dunia. Itulah hari ketika sesajen dihaturkan kepada lontar-lontar (Hari Raya Saraswati).

Satu di antara hari terpenting Pawukon adalah Saraswati. Ini merupakan hari penutup siklus Pawukon. Pada hari tersebut, masyarakat Hindu menghaturkan banten pada lontar dan buku, serta menghaturkan sembah bhakti kepada Dewi Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan. Keesokannya, pada hari Banyu Pinaruh, yaitu hari pertama siklus Pawukon berikutnya, mereka melakukan penyucian ritual di sungai atau laut. Rentetan upacara ini diyakini sebagai pergantian siklus, dari suatu Pawukon ke Pawukon berikutnya.
Makna hari raya Saraswati adalah untuk memperingati turunnya Ilmu pengetahuan, seperti kita ketahui ilmu pengetahuan sangatlah penting. Sebab jika pengetahuan atau kebijaksanaan tidak ada, mungkinkah akan ada kemakmuran dan kebahagian dalam bidang material dan spiritual?.

Tanpa kebijaksanaan, manusia tidak akan bisa bahagia, dan tanpa kebahagiaan, manusia akan menjadi lemah dalam kehidupan yang penuh dengan perjuangan ini. 
Digambarkan Dewi Saraswati adalah sebagai wanita Ayu yang cantik jelita, bertangan empat yang masing masing membawa Wina (gitar) Keropak, genitri, dan yang satunya bersikap mendamai kan, serta mengendarai burung merak, atau berdiri diatas bunga teratai.

Dari simbolis ini dapat kita ambil, hikmahnya antara lain bahwa ilmu pengetahuan memang betul betul berarti diantaranya :
- Wanita Ayu adalah simbol keindahan karena ilmu pengetahuan memang
indah dan luhur.
- Wina(gitar) melambangkan kehalusan rasa (estetika)
- Keropak adalah tempat penyimpanan lontar-lontar simbol pengetahuan
- Genitri adalah simbol lingkaran tidak akan pernah berakhir sesuai dengan bahasa  Inggris disebut Signtipic is long life education and never ending karena tidak akan habis dipelajari (wiadin ririh liu enu peplajahan) walaupun pandai masih banyak lagi yang perlu kita pelajari.
- Burung Merak adalah lambang kewibawaan yang bisa dibawakan oleh ilmu pengetahuan itu
- Bunga teratai adalah lambang kesucian, bahwa pengetahuan itu adalah suatu hal yang suci. Dengan pengetahuan pula akan menghantarkan kita pada tingkatan tertinggi yaitu moksa.

Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om
Semoga bermanfaat

Senin, 14 Agustus 2017

Agustus 14, 2017 - No comments

HINDU

 http://www.babadbali.com/canangsari/pa-agama-dan-dharma.htm

Agama dan Dharma


Agama

Kata “agama” yang dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata “gam” yang artinya “pergi” atau “perjalanan“. Urat kata “gam” ini mendapat prefix “a” yang berarti “tidak” dan tambahan “a” di belakang yang berarti “sesuatu” atau dapat berfungsi sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Dengan demikian kata agama diartikan “sesuatu yang tidak pergi“, tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Nabi (Maha Resi) untuk mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam kehidupan jasmaniah.

Dharma

Kata “Dharma” berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata “dhr” (baca: dri) yang artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata “dhr” ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya. Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran, kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang luhur.
Pustaka Smrti Santi Parwa 109.11:
Dharanad dharma ityahur
artinya
Kata dharma dikatakan datang dari kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur).
Dharmena widrtah prajah
artinya
Dengan dharma semua makhluk diatur

Hindu sebagai nama agama

Istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada jaman klasik. Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya dengan nama agama Weda atau Jaman Weda.
Kemudian Hindu dipakai nama dengan mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa Sanskerta di mana penggunaan huruf “s” dan “h” dapat ditukar- tukar, misalnya kata “Soma” dapat menjadi kata Homa, kata “Satima” dapat menjadi Hatima, dan sebagainya.
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).
Istilah agama dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai.

Tujuan agama Hindu

Di dalam kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai tercantum dalam sloka “MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH” yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa. Moksa juga disebut Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Jadi secara garis besar tujuan agama Hindu adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak.